Apa Itu Non-diegetic Sound dan Bagaimana Memanfaatkannya

Sebelum membahas non-diegetic sound, mari menilik arti kata diegetik. Berasal dari bahasa Latin, diēgēsis, yang memiliki arti ‘narasi’ atau ‘bercerita’, adalah penceritaan sebuah dunia fiksi secara internal. Istilah diegesis pertama kali dicetuskan di era Plato dan Aristoteles sebagai kebalikan dari mimesis yang berarti imitasi atau representasi. Nah, jadi secara singkat, pengertian diegesis meliputi naratif dan berasal dari dalam dunia naratif itu (interior).

Dalam film, diegetic adalah semua elemen yang ditampilkan dan dialami oleh karakter. Hal-hal di luar itu, seperti imajinasi dan pikiran, disebut non-diegetic. Penggunaan istilah diegetic dan non-diegetic—meskipun berlaku di semua elemen film—lebih akrab diterapkan di bagian sound. Non-diegetic sound adalah suara dalam film yang berasal dari sumber eksternal.

 

Voice-Over

Suara yang terdengar oleh penonton dari karakter atau narator yang tidak nampak dimanapun di visual disebut suara voice-over. Voice-over ini tidak dapat didengar oleh karakter yang ada di dalam cerita, hanya oleh para penonton. Penggunaan voice-over biasanya ada dalam bentuk narasi pengantar dan imajinasi atau kata hati si tokoh.

Narasi pengantar digunakan ketika ingin memberikan introduksi cerita dan background karakter. Film sejarah, biografi, dan dokumenter explanatory sering menggunakan voice-over berupa narasi di bagian awal, akhir atau bahkan sepanjang film. Penggunaan voice-over yang masif dalam bentuk ini dapat dilihat di sinetron-sinetron Indonesia, tapi penggunaannya yang terlalu sering bukan sesuatu yang patut ditiru.

Meskipun sangat efektif, voice-over seringkali digunakan dengan asal. Beberapa filmmaker yang malas merancang visual yang kreatif menggunakan voice-over sebagai jalan pintas. Voice-over seharusnya digunakan saat visual tidak lagi dapat menjelaskan maksud filmmaker, atau saat menunjang tujuan tertentu.

Di Grand Budapest Hotel, narasi digunakan untuk menekankan bahwa cerita dalam film diceritakan secara langsung dari buku atau diari yang ditulis oleh sang narator sendiri. Beberapa kali, deskripsi narator dipadankan dengan visual yang sedang dideskripsikan. Hal ini dimaksudkan untuk menekankan unsur komedi dalam film.

 

Music Scoring & Sound Effect

Komposisi musik yang menjadi bagian dari film dan seringkali instrumental disebut music scoring. Music scoring adalah bagian dari soundtrack, sementara soundtrack berarti semua sound yang ada di film termasuk dialog, sound effect, ambience, dan sebagainya. Namun pengertian soundtrack yang populer adalah lagu-lagu (dengan lirik) yang secara lisensi merupakan bagian dari film tapi biasanya tidak menjadi bagian dari cerita.

Musik dalam film melayani rentang tujuan yang luas. Kami bisa membuat daftar panjang akan tujuan penggunaan scoring dalam sebuah film: menciptakan atmosfer, melukiskan emosi, memperjelas aspek sosio-kultural, ilustrasi, dan lain-lain.

Di film-film bergenre horor dan thriller, music scoring memiliki peranan yang besar. Di kebanyakan film horor dan thriller, music scoring hadir hampir di keseluruhan film terutama di adegan yang membutuhkan suspense. Efek ini bisa diraih dengan permainan volume dan tempo. Sudah menjadi rahasia umum jika film-film horor arus utama justru mengandalkan kehadiran suara seperti scoring dan sound effect untuk menghadirkan rasa takut penonton ketimbang dari visualnya.

Tapi tidak hanya di film horor. Contohnya, di film Dunkirk, musik adalah bagian integral. Music scoring membantu memunculkan kegelisahan penonton, pada saat bersamaan menggiring perhatian penonton ke adegan yang sedang berlangsung. Untuk Dunkirk, Nolan mengaku menggunakan ilusi audio bernama Shepard Tone. Prinsip teknik tersebut adalah bunyinya nada yang seolah semakin tinggi dan tak terhingga padahal nada tersebut tidak keluar dari tingkat nadanya.

Bagaimana menurutmu? Sudah yakin bukan bahwa konsep audio sama pentingnya dengan konsep visual?

No Comments

Post A Comment
×

Hello! Please contact our team below according to your needs.

× How can I help you?