4 Film yang Membahas Tragedi G30S

Film historis merupakan film dengan cerita yang dilatarbelakangi oleh peristiwa tertentu. Proses pembuatannya pun perlu dilakukan secara hati-hati agar dapat menyajikan sebuah narasi dengan akurasi sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Indonesia sendiri memiliki beberapa film historis yang berkualitas dan dipersiapkan dengan riset yang matang untuk memproyeksikan sebuah peristiwa penting, salah satunya menyangkut peristiwa G30S/PKI. Berikut adalah 4 film yang menceritakan kembali kondisi Indonesia dalam berbagai daerah dan kelas sosial yang dilatarbelakangi oleh peristiwa G30S.

Sang Penari

Sang Penari adalah film karya Ifa Isfansyah yang diadaptasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari. Film ini bercerita tentang kisah cinta seorang penari ronggeng bernama Srintil dan pemuda bernama Rasus dalam sebuah desa yang mengalami krisis di tahun 1960-an. Suatu hari, seorang aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) mendatangi desa tersebut untuk merekrut Srintil bersama grup kesenian ronggeng Dukuh Paruk sebagai pengisi acara kesenian rakyat. Namun keterlibatannya dengan PKI menyeret dukuh tersebut pada kejadian “pengamanan” orang-orang partai komunis oleh pemerintah Indonesia di masa itu.

Film Sang penari membutuhkan penelitian selama dua tahun untuk memperkuat narasi dan menyajikan konteks sejarah yang lebih kompleks. Hal tersebut meliputi Gerakan 30 September serta peristiwa pembantaian anti-komunis di daerah terpencil. Pengerjaan

Gie

Film Gie menceritakan tentang perjuangan Soe Hok Gie, seorang aktivis yang berusaha melawan ketidakadilan sosial di bawah pemerintahan Presiden Ir. Soekarno. Selain itu, Soe juga berhadapan langsung dengan kemunafikan teman-temannya yang memanfaatkan situasi politis untuk kepentingan pribadi. Keadaan menjadi lebih rumit ketika Soe mengetahui teman masa kecilnya, Tan Tjin Han, telah bergabung dengan Partai komunis Indonesia dan tidak mengindahkan peringatan Soe akan konsekuensi yang mengancam hidup Tan.

Plot dalam film ini dibangun dari interpretasi filmmaker terhadap buku Catatan Seorang Demonstran yang ditulis oleh Soe Hok Gie, sehingga beberapa adegan yang menampilkan kehidupan pribadi Soe dibuat untuk keperluan dramatisasi film. Tan Tjin Han pun merupakan seorang tokoh fiktif yang terinspirasi dari teman Soe di dunia nyata. Adanya penambahan dalam film historis untuk keperluan dramatisasi memang sudah sering terjadi – bahkan film dokumenter pun tidak luput dari subyektifitas pembuat film untuk mengkonstruksi narasi yang diinginkan. Oleh karena itu, film Gie bukanlah sebuah pelajaran sejarah, melainkan sebuah karya film historis yang mengandalkan realitas historis sebagai latar belakang cerita fiksi dengan support catatan harian dari Soe Hok Gie.

Jagal

Jagal adalah karya pertama Joshua Oppenheimer dalam proyek film dokumenternya yang berfokus pada pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965 sampai 1966. Pada film Jagal, ia berfokus pada salah satu eksekutor pembunuhan massal di masa kini yang bernama Anwar. Oppenheimer merekam cerita-cerita Anwar dalam melakukan aksinya. Selain itu, Anwar juga melakukan reka adegan untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai perasaannya terhadap aksi yang ia lakukan pada saat itu.

Walaupun film Jagal dikategorikan sebagai film dokumenter, adegan-adegan bernuansa fiksi muncul dengan adanya dramatisasi pengalaman Anwar. Namun, hal tersebut tidak membuat film ini sebagai sebuah karya dokumenter yang fiktif. Oppenheimer sendiri menyatakan bahwa film Jagal mendokumentasikan imajinasi yang muncul ketika mengingat kejadian pembunuhan massal melalui perspektif seorang jagal secara langsung.

Senyap

Film Senyap adalah film dokumenter kedua Joshua Oppenheimer yang berkisar pada topik yang sama dengan film Jagal. Bedanya, film ini menyampaikan cerita dari anggota keluarga korban pembunuhan massal pada tahun 1965. Ia mendatangi eksekutor pembunuhan massal satu-persatu untuk mengulik kejadian yang merenggut nyawa saudaranya. Selama perjalanannya dalam mencari jawaban, terdapat beberapa adegan selingan yang memperlihatkannya menonton cuplikan dari film Jagal. Bisa dibilang bahwa adegan tersebut merupakan hasil konstruksi narasi yang telah dipersiapkan Oppenheimer untuk film dokumenter ini, sehingga kita dapat melihat respon narasumber terhadap cerita-cerita keji tentang pembunuhan massal yang telah terjadi.

Adegan-adegan yang telah dipersiapkan dalam sebuah film dokumenter pada dasarnya sah-sah saja untuk dilakukan, asalkan tidak memutar balikkan fakta. Oppenheimer mempertimbangkan beberapa adegan settingan dalam filmnya untuk memunculkan fakta-fakta baru dengan mendokumentasikan respon maupun pandangan narasumber terhadap kejadian G30S/PKI.

Film-film yang diproduksi oleh Joshua Oppenheimer membuka gerbang informasi baru dalam kejadian G30S/PKI; melalui cerita pelaku dan korban secara langsung. Ia berharap bahwa dua film tersebut memberikan akses informasi mengenai sejarah kelam yang dimiliki oleh warga Indonesia. Selain itu, ia juga mempersilahkan warga Indonesia untuk melanjutkan film tersebut dengan babak-babak baru yang menceritakan kisah-kisah dari perspektif lainnya.

Film-film historis dapat memperluas pandangan penonton terhadap suatu kejadian yang telah terjadi. Mengutip dari sebuah artikel oleh Patrick Masters dalam laman The Conversation, fakta-fakta historis dalam film memungkinkan penonton untuk lebih kritis terhadap periode waktu yang dipersepsikan oleh filmmaker dan hal-hal apa saja yang hendak disampaikan melalui realitas historis. Oleh karenanya, kita bisa menonton film-film yang telah disebutkan diatas serta memahami konteks sosial yang menyertainya agar dapat mendapatkan informasi yang utuh akan peristiwa G30S/PKI.

No Comments

Post A Comment
×

Hello! Please contact our team below according to your needs.

× How can I help you?